TINJUAN HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI ALAT ELEKTRONIK YANG JATUH TEMPO PADA PEGADAIAN SYARIAH DI KABUPATEN BULUKUMBA

  • Jusnadi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
    (ID)
  • Musyfika Ilyas
    (ID)

Abstract

Abstrak

Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu seseorang yang selalu bergantung dengan masyarakat sehingga memerlukan bantuan dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam bermasyarakat.[1] Kebutuhan manusia dalam kehidupan bermasyarakat memiliki beragam jenis salah satu adalah mengenai masalah muamalat seperti jual beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Gadai merupakan salah satu kategori perjanjian utang piutang sehingga gadai termasuk kedalam hukum perikatan karena dalam gadai minimal terdapat 2 (dua) pihak yang mengadakan perjanjian.[2] Gadai di Indonesia dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai yang secara ketat menentukan bunga gadai yaitu adanya tambahan sejumlah uang atau presentase tertentu dari biaya pokok utang pada waktu membayar hutang. Hal tersebut bukanlah sebuah transaksi yang saling menguntungkan, padahal praktik gadai bertujuan untuk tolong-menolong sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan sosial antara yang kaya dengan yang miskin. Pada saat ini gadai merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun nyatanya masih banyak orang yang tidak memahami bagaimana konsep gadai menurut syariat Islam. Perkembangan zaman yang sangat pesat membuat kebutuhan manusia juga ikut meningkat dan tidak semua orang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga membuat mereka mancari alternatif yang mudah tanpa mengetahui bagaimana Islam mengatur hal tersebut. Maka dari itu penulis tertarik menelaah lebih lanjut mengenai Sistem Gadai Alat Elektronik Yang Jatuh Tempo Pada Pegadaian Syariah Di Kabupaten Bulukumba.

Kata kunci: Gadai, Alat Elektronik, Pegadaian Syariah

 

Abstract

Humans are social beings, that is, someone who is always dependent on socienty, so they need help from society to meet their needs in society. Human needs in social liffe have variou types, one of which is regarding muamalat issues such as buying and selling, debts and leasing. Pawning is included in the law of engagement because in pawning there are at least 2 (two) partiens entering into an agreement. Pawn in Indonesia in practice shows that there are several things that are considered burdensome and can lead to a problem of usury. This can be seen from the practice of implementing mortgages which strictly determine the mortgage interest, namely the existence of an additional amount of money or a certain prize from the principal cost of the debt when paying the debt. This is not a mutually beneficial transaction, even though the practice of pawning aims to help each other as a means to improve social relations between the rich and the poor. At this time pawning is commonplace in everyday life, but in fact there are still many people who do not understand the concept of pawn according to Islamic law. The very rapid development of the times has made human needs also increase and not everyone can meet their daily needs, so that makes them look for easy alternatives without knowing how Islam regulates this. Therefore the author is interested in studying more about the Pawn System for Electronic Devices that are Due at Sharia Pawnshops in Bulukumba Regency.

Keywords: Pawn, Electronic Devices, Sharia Pawnshops

 

[1]Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),  h. 11.

[2]Ashar Sinilele dan Sutriani, “Tinjauan Hukum Terjadinya Wanprestasi Gadai Sawah”, Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah, Vol. 2 (2020): h. 32.

Published
2023-10-30
Section
Volume 5 Nomor 1 Oktober 2023
Abstract viewed = 89 times