Kebangkitan Kesultanan Ternate pada Era Reformasi 1998-2002

  • Rustam Hasim
    (ID)
  • Oktosiyanti MT Abdullah
    (ID)
  • Siti Rahia H. Umar
    (ID)

Abstrak

 The elite revival of the Ternate Sultanate after the New Order illustrated how the palace group played a new role in staying in its position as a clan of power in the local sphere. In this case, the emergence of the elite of the Ternate Sultanate can be understood and interpreted in three respects. First, the rise of feudalistic power in the region to strengthen political position stemmed from cultural construction based on history and genealogical similarities. Second, the individual revival of the Sultan of Ternate MudafarSyah in the name of the Sultanate institution as his political vehicle. Third, there is the elite desire of the Ternate Sultanate to be more institutionally accommodated into the formal government political stage. This reality shows the political participation of the Ternate Sultanate in the post-independence domain of local politics until now, is an important field of historical research. As a historical phenomenon, the process of dynamics of local politics like this is interesting to study, because the Sultan of Ternate has long been a part of the history of politics in North Maluku. Also, there is an implicit message about how partial Indonesian political studies are if they only focus on the dynamics of national politics. In the case, there are several national political issues which can initially be pursued from the region and vice versa

 

Kebangkitan elite Kesultanan Ternate pasca-Orde Baru mengambarkan bagaimana kelompok istana memainkan peran baru agar tetap berada pada posisinya sebagai pengenggam kekuasaan di ranah lokal. Dalam hal ini, apat dipahami bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan kemunculan elit Kesultanan Ternate Pertama, bangkitnya kekuasaan feodalistik di daerah untuk memperkuat posisi politik bersumber dari konstruksi budaya yang berbasiskan pada sejarah masa lalu maupun kesamaan genealogis. Kedua, kebangkitan secara individual Sultan Ternate Mudafar Syah dengan mengatasnamakan institusi kesultanan sebagai kendaraan politiknya. Ketiga, adanya keinginan elite Kesultanan Ternate untuk lebih diakomodasikan secara institusional ke dalam panggung politik pemerintahan formal. Realitas  tersebut menunjukkan  partisipasi politik  Kesultanan Ternate dalam ranah politik lokal pasca-kemerdekaan hingga kini, merupakan sebuah bidang penelitian sejarah yang penting. Sebagai sebuah fenomena historis, proses dinamika politik lokal seperti ini menarik untuk diteliti, karena telah sejak lama para Sultan Ternate menjadi bagian dalam sejarah perpolitikan di Maluku Utara. Selain itu,  ada sebuah pesan implisit tentang betapa parsialnya kajian politik Indonesia bila hanya memfokuskan pada dinamika politik nasional saja. Pada hal ada beberapa persoalan politik nasional yang awalnya dapat diruntut  dari daerah dan begitu pula sebaliknya.

Referensi

AAG. Ari Dwipayana, Bangsawan dan Kuasa Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota. (Yogyakarta, IRE Press, 2004).

Ben Anderson, (eds), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. (Jakarta: Penerbit Antara IDEA, 2002).

David Henley, et al., Adat Dalam Politik Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010).

Fachry Ammari dan J.W. Siokona, Ternate, Kelahiran dan Sejarah Sebuah Kota. (Ternate: Pemda Kota Ternate, 2003).

Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV, 2007.

Hamid Kotambunan, Perjuangan Rakyat Maluku Utara Membebaskan Diri dari Kolonialisme. (Jakarta: Gamalama Media), hlm. 12-14.

Henk Schulte Nordholt, et.al. (ed), Politik Lokal di Indonesia.(Jakarta: KITLV, 2007).

J. Mansur. “Naskah Pengusulan Tingkat I Provinsi Maluku Utara Dewan Perwakilan Gotong Royong Daerah Tingkat II Maluku Utara”.Ternate, 1964. Tanpa Penerbit.

Maryanto Wahyu Tryatmoko, “Pemekaran Wilayah dan Pertarungan Elite Lokal di Maluku Utara, dalam Jurnal LIPI Jilid XXXI, No 1, 2005.

Muchtar Nurhasim, et. al, Konflik Antar Elit Lokal dalam Pemelihan Kepala Daerah: Kasus Maluku Utara, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah. (Jakarta: LIPI, 2003).

Mudaffar Syah, Eksistensi Kesultanan Ternate dalam Sistem Tatanegara Republik Indonesia. (Ternate : Goheba, 2009).

Patrick Barron, et,al, Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya Penanganannya. Yogyakarta: CSPS Books, 2012.

Purwo Santoso “ Merajut Kohesi Nasional: Etno-nasionalisme dan Otonomi daerah” dalam Jurnal Ilmu Sosial da Ilmu Politik. Vol. 4, No 3, Maret 2001.

Rustam Hasim, Sultan dalam Sejarah Politik Ternate, 1945-2002. Ternate: LepKhair, 2018.

Rustam Hasim dan Mustafa Mansur, “Sultan Ternate Iskandar Djabir Syah: Dari Konperensi Malino Hingga Menjadi Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur (NIT) 1946-1950”. Jurnal ETNOHISTORI Vol.II. No.1. April 2015. Fakultas Sastra, Universitas Khairun Ternate.

R. Siti Zuhro, et,al. Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi. (Yogyakarta: Ombak, 2009).

Rusdi J. Abbbas, Demokrasi di Aras Lokal Praktek Politik Elite Lokal di Maluku Utara.Yogyakarta: Cerah Media, 2012.

Tabloid Parada. Ternate, edisi 2, tanggal 3-20 Desember 2008.

Diterbitkan
2019-12-17
Abstrak viewed = 798 times