’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara

  • M. Noor Harisudin IAIN Jember
    (ID)

Abstract

This paper would like to see how the customs ('urf) became one of source Indonesian Islamic law. Fiqh Indonesia as reflected in the Compilation of Islamic Law (KHI) in Indonesia contains important fiqh ruling, which not only represents not just the Shafi'i schools, but also madhab four. In addition, another important thing is that it contains KHI customs consideration as a legal basis so that the product appears Gono-gini fiqh treasures which are clearly different to the treasures of fiqh outside Indonesia. Basing on the 'urf is based on the fact that the law change with time, place and circumstances.

References

Abd al-Salam, Izzu al-Din ibn, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.

Abu Sunah, Ahmad Fahmi, al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha, Mesir: Maktabah al-Azhar, 1947M.

Al-Bajuri, Hashiyah Shaikh Ibrahim al-Bajuri, Lebanon: Dar alKotob al ilmiyah, 2013 M/1434 H.

Al-Husaini, Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar fi halli ghayat al-Ikhtishar, Surabaya: Syirkah Nur Asia, tt.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al- Hadith, Ulumuha wa Mustalahuhu, cet.-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.

Al-Ruki, Muhammad, Qawa’id al-Fiqh al-Islami min Khilal Kitab al-Ishraf ‘ala masa’il al-Khilaf , Damaskus: 1998, Dar al-Qalam, 1998.

Al-Sahi, Sauqi Abduh, Al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, Kairo: al-Maktabah al-Nahdliyah al-Mishriyah, 1989.

Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Jilid XIV, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Al-Shaibani, al-Siyar al-Kabir, Jilid I, Kairo: Syirkah Musahamah, 1953.

Al-Zuhayli, Wahbah, Us}ul al-Fiqh al-Islami, Vol. II, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.

As-Shidiqie, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.

Duton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.

Harisudin, M. Noor, Ushul Fqih I, Surabaya: Pena Salsabila, 2015.

Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ‘an-rabb al-‘Alamin, Beirut: Dar al-Fikr, 1977, Cetakan ke-2, Juz III.

Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Jilid VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, Jilid III, Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Talabah wa al-Nashr, tt.

Imam Nahe’i dan Wawan Juandi, Revitalisasi Usul al-Fiqh dalam Proses Istinbat Hukum Islam, Situbondo: Ibrahimy Press, 2010.

Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Karim, Khalil Abdul, Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Terj. Kamran As’ad, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia nomer 154 tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden nomer 1 Tahun 1991.

Khalaf, Wahab, Masadir al-Tashri‘ al-Islami fi Ma Laysa Nashs fih, Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972 M/1392 H.

Lukito, Ratno, Islamic Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Jakarta: Logos, 2001.

Masyitah, Dewi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Adat Pelangkahan dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa Sakatiga Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan), Skripsi UIN Yogyakarta, 2009, tidak dipublikasikan.

Muzadi, K.H. Abd. Muchit, Fiqh Perempuan Praktis, Surabaya: Khalista, 2006.

Nasution, Lahmudin, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Shafi’I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.

Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since C. 1200, Third Edition , London: Palgrave Macmillan, 2001.

Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Zaydan, Abd al-Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Amman: Maktabah al-Batsa’ir, 1994 M/ 1415H.

Zaydan, Abdul Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Oman: Maktabah al-Batahir, 1994.

Zulkifli, “al-‘Urf dan Pembaruan Hukum Islam”, Disertasi, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, tidak diterbitkan.

Internet

www.nu.or.id

Koran dan Jurnal

Abdillah, Mudlofir, “Pribumisasi Islam dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi Bangsa”, dalam Indo-Islamika, Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni, 2014.

Harisudin, M. Noor, Menggagas Fiqh Indonesia, Radar Jember, 29 Maret 2016.

Harisudin, M. Noor, The Taqnin Of Indonesian Islamic Law Dynamic, Jurnal JIIS UIN Sunan Ampel Surabaya, Vo. 9 No. 1. 2015.

Harisudin, M.N., “Tradisi Lokal Sebagi ‘Urf Progresif”, dalam ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007.

Siddiqi, Nouruzzaman, “Muhammad T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam Di Indonesia”, Al-Jami’ah, No. 35, 1987.

Endnotes

Mudlofir Abdillah, “Pribumisasi Islam dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi Bangsa”, dalam Indo-Islamika, Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni, 2014.

Arabisme adalah sikap selalu mengacu pada Arab dalam berbagai hal. Semua yang dari Arab dipandang sebagai kebenaran yang harus diikuti.

Islamisasi yang terjadi sejak masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-15, adalah melalui proses damai dan penuh kearifan. Tak ada perang; tak ada penaklukan; dan tak ada pemaksaan agama di Jawa selama transformasi Islam berlangsung di sini. Lihat M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since C. 1200, Third Edition (London: Palgrave Macmillan, 2001), 17.

Abd. Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Mesir: al-Haramain, 2004 M/1425 H), 90

Istilah Fiqh Nusantara, sebagaimana saya maksudkan, adalah bagian dari Islam Nusantara, sebagaimana akan dibahas nanti.

Ibnu Manzur, Jilid IV, 311.

Wahab Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islami fi Ma Laysa Nashsh fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972 M/1392 H), 145

Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Vol. II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 828.

Ahmad Fahmi Abu Sunah, al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha, (Mesir: Maktabah al-Azhar, 1947M), 8.

Lihat, M.N. Harisudin, “Tradisi Lokal Sebagi ‘Urf Progresif”, dalam ISLAMICA, Vol. 2, No. 1, September 2007

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Us}ul al- Hadith, Ulumuha wa Mustalahuhu, cet.-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), 20.

Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Terj. Kamran As’ad, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 7-8.

Khamil Abd Karim, al-Judhur al-Tarikhiyah li As-Shari’ah al-Islamiyah. Terj Kamran Asad, (Yogyakarta: LKiS, 2003), xi-xii.

Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), 11.

Al-Syarkhasi, Al-Mabsuth, Jlid XII, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 199.

Al-Shaibani, al-Siyar al-Kabir, Jilid I (Kairo: Syirkah Musahamah, 1953), 194-198

Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, Jilid V (Kairo: Mathba’ah Mustafa Ahmad, 1937), 282-283.

Yasin Duton, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), 75-106.

Lahmudin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Shafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), 150. Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 107. Lihat juga, Abd. Whab Khalaf, Ilm Us}u>l al-Fiqh, 90.

Izzu al-Din ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 107-119.

Ibnu Qudamah, al-Mughni, Jilid VI (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 485.

Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, Jilid III, (Beirut: Da>r al-Ma’rifah li al-Talabah wa al-Nashr, tt), 412-413.

Wahbah Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islami, 837

Maslahah merupakan tujuan pensyariatan hukum dalam Islam. Maslahah berarti kebaikan atau kepantasan yang membawa pada sesuatu yang pantas dan menimbulkan kebaikan. Kebalikan maslahat adalah mafsadah yang berati kerusakan. Dalam pembagiannya, masalah ini dibagi tiga. Pertama, dlaruri, yaitu maslahah yang mesti ada dalam kehidupan. Kalau maslahah ini tidak ada, maka rusaklah kehidupan. Sedangkan pada mafsadat, yaitu sesuatu yang tidak boleh ada dalam kehidupan. Kalo ada, maka rusaklah kehidupan. Dengan demikian, dlaruri adalah sesuatu yang paling pokok dalam masalah tujuan hukum Islam. Kedua, haji adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dalam kategori maslahah, dibutuhkan dalam arti harus ada dan dalam kategori mafsadah, ia harus tidak ada. Sehingga kalau dia tidak ada pada kategori maslahah, atau dia ada pada kategori mafsadah, maka terganggulah kehidupan walaupun tidak akan membawa pada rusak atau hilangnya kehidupan. Ketiga, tahsini adalah sesuatu yang menjadi pelengkap dan penyempurna dalam kehidupan. Dalam kategori maslahah, keberadaannya diharapkan. Sedangkan pada kategori mafsadah, ia diharapkan tidak ada. Sehingga jika dia tidak ada pada kategori maslahah dan dia ada pada kategori masfadah, maka tidak akan menyebabkan hilang atau rusaknya kehidupan dimaksud. Ketiga kategori maslahah dan mafsadah ini erat sekali hubungannya dalam hukum Islam. Lihat, Zulkifli, “al-‘Urf dan Pembaruan Hukum Islam”, Disertasi, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, tidak diterbitkan.

Secara etimologi, istihsan adalah menaggap sesuatu sebagai kebaikan. Secara terminologi, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali ke qiyas khafi atau dari hukum kulli ke hukum juz’i dengan menggunakan dalil yang menguatkan perpindahan ini. Dengan demikian, ada dua jenis istihsa>n. Yang pertama, berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali ke qiyas khafi. Contohnya seorang mewakafkan tanah, maka menurut istihsa>n, termasuk dalam wakaf ini adalah hak minum dan hak lewat meskipun tidak disebutkan dalam akad. Ini karena wakaf diqiyaskan dengan akad sewa (qiyas khafi), bukan jual beli (qiyas jali). Kedua, berpindahnya seorang mujtahid dari hukum kulli (umum) menuju hukum juz’i. Contoh hukum kulli adalah barang yang harus ada dalam jual beli, sementara barang yang tidak ada, tidak boleh dijual belikan. Namun, berdasarkan istihsa>n jual beli atas barang yang tidak ada seperti akad salam diperbolehkan. Baca, M. Noor Harisudin, Ushul Fqih I, (Surabaya: Pena Salsabila, 2015), 87.

Roibin, Sosiologi Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 89.

Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Jilid XIV, (Beirut: Da>r al-Fikr, tt ), 14.

Abd. Wahab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh, 86-87.

Dengan artikel yang ditulis pertama kalinya berjudul “Mendedahkan Pengertian Islam”, Hasbi pada tahun 1940-an ini menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Demikian ini agar fiqh tidak menjadi barang asing dan juga tidak diperlakukan sebagai barang antik. Lihat, Nouruzzaman Siddiqi, “Muhammad T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam Di Indonesia”, Al-Jami’ah, No. 35, (1987), 50.

Lihat, M. Noor Harisudin, The Taqnin Of Indonesian Islamic Law Dynamic, Jurnal JIIS UIN Sunan Ampel Surabaya, Vo. 9 No. 1. 2015. Secara khusus, Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 menggunakan tema, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,”. Tema ini mendapat perhatian mayarakat dunia. Jika NU megusung tema besar “Islam Nusantara”, maka Muhammadiyah menyodorkan tema “Islam Berkemajuan”.

Pengertian Islam Nusantara merujuk pada Islam yang ada di nusantara, bukan Islam untuk nusantara, atau Islam dari Nusantara. Dalam jejaring sosial, muncul defines Islam Nusantara yang dilantunkan dalam syair-syair berikut:

(1) Fa man bihi ja’a islam Nusantara # tis’atu auliyaillah fi jawa

(2) Wa man yurafidluhu la ya’lamu fi # babi idhafatin lidzaka fa’rifi

(3) Li annahu al-islam fi Nusantara # nawiyatan fi laysa min au liman

Arti dari syair tersebut kurang lebih:

Siapa yang membawa Islam Nusantara? # merekalah wali songo di Jawa

Barang siapa yang menolak Islam Nusantara # dia belum mengerti idhafah, maka ketahuilah

Islam Nusantara itu Islam di Nusantara # menyimpan makna fi bukan min atau li

Tiga bait syair di atas menjelaskan Islam Nusantara dari sisi bahasa dimana dalam bait kedua dan ketiga. Bat ini menegaskan Islam Nusantara adalah tarkib idhafi yang menyimpan makna fi (di dalam), bukan makna min (dari) atau li (untuk). Sebelum syair tersebut beredar di jagad maya, al-mukarram KH. Musthafa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus sudah terlebih dahulu menegaskan bahwa susunan kalimat Islam dan Nusantara adalah penyandaran idhafi yang menyimpan makna fi. Beliau lalu mengilustrasikan dengan istilah “air gelas” yang berarti air di dalam gelas, bukan airnya gelas. Begitu pun Islam Nusantara, ini tak berarti Islamnya Nusantara tetapi harus dipahami dengan Islam di Nusantara. Selain tarkib idhafi sebagaimana di atas, susunan kalimat Islam Nusantara juga bisa dijadikan sebagai tarkib washfi (na’at man’ut). Artinya, Islam dianggap sebagai man’ut (yang disifati) dan kalimat Nusantara dijadikan na’at (yang menyifati). Dalam kajian bahasa, sifat itu tidak selalu berupa washf (isim fa’il atau isim maf’ul), tetapi bisa juga berupa nama tempat atau daerah. Model sifat seperti ini biasanya dengan menggunakan bantuan ya’ nisbah. Lihat, “Tarkib Islam Nusantara”, di www. nu.or.id, diakses 12 September 2016.

Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?, dalam www.nu.or.id., diakses 15 September 2015.

Asmawi Mahfudz, Fiqh Madzhab Nusantara, dalam www.nu.or.id, diakses 17 september 2016.

Ibid.

"Tentang arti Islam Nusantara”, lihat www.nu.or.id Diakses 15 September 2015.

K.H. Abd. Muchit Muzadi, Fiqh Perempuan Praktis, (Surabaya: Khalista, 2006), 12.

Ibid.

Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ‘an-rabb al-‘Alamin, Cetakan ke-2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Juz III, 14.

Abd Wahab Khalaf, Ilm Usul Fiqh, 90.

Hasbi Ash-Shiddiqy, Syari’at Islam menjawab Tantangan zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), 43.

Hasbi as-Shidiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), 102.

Al-Bajuri termasuk yang mengatakan tidak sah jual beli mu’atah. Sementara, Imam Nawawi dan sekelompok ulama mengatakan sahnya jual beli mu’atah pada barang yang sudah dibiasakan manusia karena bagi Nawawi, inti jual beli adalah kerelaan dua orang yang berakad. Sebagian ulama lain membolehkan jual beli mu’atah pada barang yang remeh temeh seperti roti kecil dan sebagainya. Lihat, Al-Bajuri, Hashiyah Shaikh Ibrahim al-Bajuri, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H), 654. Lihat juga, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Bughyat al-Murtashidin, (Surabaya: al-Hida>yah, tt), 124.

Jual beli anak kecil diilhaqkan dengan jual beli mu’atah ketika yang demikian itu menjadi ‘urf di suatu daerah. Dengan demikian, jual beli anak kecil tetap sah berkaitan dengan hal-hal yang kecil seperti jajan anak-anak, rokok, dan sebagainya. Lihat, Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat Akhyar fi halli ghayat al-Ikhtisar, (Surabaya: Syirkah Nur Asia, tt), 240.

Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, 275. Lihat juga, Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, 835.

Hadith

Abu Zahra, Us}ul a-l-Fiqh, 275.

Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami min Khilal Kitab al-Ishraf ‘ala Masa’il al-Khilaf (Damaskus: 1998, Dar al-Qalam, 1998), 218. Sauqi Abduh al-Sahi, Al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, (Kairo: al-Maktabah al-Nahdliyah al-Mishriyah, 1989), 292-293.

Izzudin bin Abd Salam, Qawaid al-Ahkam fi Mas}alih al-Anam, 178.

Contohnya adalah akad salam. Pada ghalibnya, akad ini tidak sah karena termasuk bai al-ma’dum, namun karena berdasarkan ‘urf, maka akad ini diperbolehkan. Jadi, ‘urf berupa akad salam diperbolehkan, meski termasuk bai al-ma’du>m karena merupakan ‘urf. Namun bai al-ma’dum yang lain tetap tidak diperbolehkan. Lihat, Abdul Karim Zaydan, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Oman: Matkabah al-Batahir, 1994), 256.

‘Urf qauli adalah sesuatu yang telah lumrah dalam sekelompok masyarakat untuk menggunakan satu kata asas makna tertentu yang berbeda dengan makna yang sesungguhnya. Misalnya penggunaan kata walad dalam bahasa Arab yang lebih diarahkan pada laki-laki, dan tidak mencakup pada perempuan. Demikian juga, penggunaan kata lahm dalam bahasa Arab untuk semua jenis daging hewan selain ikan. Juga kata dabbah yang sesungguhnya berarti semua hewan melata tapi secara ‘urf diarahkan pada makna hewan berkaki empat saja. Sementara, ‘urf amaly adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan perbuatan tertentu. Misalnya dalam masyarakat Arab berkembang tradisi yang dicatat dalam Fiqh, yaitu bai al-mu’at}ah. Bai al-mu’at}ah adalah jual beli yang tanpa ijab qabul. Jika menggunakan standard fiqh, sebenarnya tidak sah karena jual beli tanpa ijab qabul yang merupakan rukunnya. Namun, karena ‘urf maka diperbolehkan. Hanya saja, jual beli ini menurut ulama pada muhqira>t, barang dengan nominal rendah. Lihat, Imam Nahe’i dan Wawan Juandi, Revitalisasi Usul al-Fiqh dalam Proses Istinbat Hukum Islam, (Situbondo: Ibrahimy Press, 2010), 145-146.

Ibid.

Asmawi Mahfudz, Fiqh Madzhab Nusantara, dalam www.nu.or.id, diakses 17 september 2016.

Secara pribadi, sekarang ini, banyak orang Indonesia menggunakan gamis (sepert di Arab Saudi), namun menurut saya masih kurang cocok dengan kondisi Indonesia yang sejuk dan damai. Saya mengatakan, keberadaan gamis di negeri ini lebih condong untuk dipaksakan. Karena itu masih jauh dari terma ‘urf sebagaimana dibahas dalam artikel ini.

Lihat, M. Noor Harisudin, Menggagas Fiqh Indonesia, Radar Jember, 29 Maret 2016.

Dewi Masyitah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Adat Pelangkahan dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa Sakatiga Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan), Skripsi UIN Yogyakarta, 2009, tidak dipublikasikan.

Lihat, Intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Juga lihat, Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia nomer 154 tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden nomer 1 Tahun 1991.

Ibid.

Terma living laws dan positif laws kaitannya dengan ‘urf menjadi perbincangan menarik dalam studi hukum Islam dan perkembangannya di Indonesia. Pembahasan lebih lanjut, silahkan baca; M. Noor Harisudin, The Taqni>n Of Indonesian Islamic Law Dynamic, Jurnal JIIS UIN Sunan Ampel Surabaya, Vo. 9 No. 1. 2015.

Published
2017-03-26
How to Cite
Harisudin, M. N. (2017). ’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam, 20(1), 66-86. https://doi.org/10.24252/jumdpi.v20i1.2311
Section
Vol. 20 No. 1 2016
Abstract viewed = 9231 times