KERUKUNAN UMAT BERAGAMA PASCA KONFLIK DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Abstract
Konflik sosial kekerasan bernuansa agama di Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi karena adanya faktor struktural dimana oleh kurangnya pendidikan di masyarakat baik pendidikan formal dan pendidikan spiritual sehingga munculnya ketidakmampuan membedakan isu dan juga pemahaman pendidikan agama yang memunculkan stereotip dan perasaan terancam akan munculnya agama atau pemahaman lain dari apa yang diterima. Sistem deteksi dini dan tanggap dini oleh pemerintah daerah dalam pencegahan konflik bernuansa agama di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan belum cukup maksimal dimana Pemerintah Daerah dalam upaya deteksi dini yang dilakukan bukan untuk mendeteksi potensi konflik sebelum terjadi melainkan hanya pada deteksi setelah terjadinya konflik; belum mampu untuk mencapai deteksi dini konflik sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik di masyarakat yang mengakibatkan banyaknya kasus yang terjadi. Kerukunan Umat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami perubahan tetapi tidak signifikan dikarenakan terdapat hambatan hambatan yang di dapat oleh Pemerintah. Namun dalam kenyataanya berdasarka survey yang dilakukan oleh Pemerintah. Indeks Kerukunan Umat Beragama Daerah Istimewa Yogyakarta. Data survei kerukunan umat beragama (KUB) di DIY yang dikeluarkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI ternyata di atas rata-rata nasional. Sikap toleransi di DIY angkanya 71,9 persen, sedangkan di tingkat nasional 70,91. Di tahun 2018 (75,84 persen), nasional 70,33 persen. Kemudian pada tahun 2019, sikap toleransi di DIY juga di atas rata-rata nasional yakni 73,48, sedangkan nasional 72,37 persen.
Kata Kunci;
Kerukunan Umat Beragama, Konflik , Daerah Istimewa Yogyakarta