Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam

  • Tasbih Tasbih Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Sultan Amai Gorontalo
    (ID)

Abstrak

Hadis, as the second source of Islamic law, has ben referred by muslims from the early periode of Islam, in dealing with their both social and sprituai life. Due this reason, many parties, either muslim or non-muslim have used hadis not only in line with proper function as second source after the Qur’an but olso for improper usage. In order to deal with this issue, this article aims at providing a clear analysis on hadis position and its function as a source for Islamic legislation. By reffering to both Qur’anic interpretation ad hadis contents, and also dealing with opinions of Muslim. It is found that hadis is inseparable from the Qur’an. Surely, there has been a point in Islamic history when either certain Muslin or non-Muslim group denied to acknowledge hadis. This denial, however, was due to their iguarance towards the real means of the Qur’an and hadis itself.

Referensi

Al-‘Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994

--------, Studies in Hadith Methodologi and Literature Indianapolis: American Trust Publications, 1977.

Arkoun, Muhammad. Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Al-Baqi, Fuad, Muhammad, Abd. al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1989.

‎‎Al-Gazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. terj. Muhammad al-Baqir, Bandung Mizan, 1996.

Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya Jkarta: Media Dakwah, 1980

Ismail, Syuhudi, M. Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

---------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Al-Qurtubi, al-Ansari, bin Ahmad, Abu Abdillah Muhammad. al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976.

Rahman, Fazlur. Islam Chicago: University of Chocago Pres, 1979.

--------, Islamic Methodology in History Karaci: Centrall Institut of Islamic Research, 1965

Sahw, Muhammad Abu. al-Hadis wa al-Muhaddisun Mesir, Maktabah al-Misriyah, t.th. ‎‎

Al-Sibai, Mustafa. al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, Kairo: Dar al-Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966.

Soetari, Endang AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah Bandung : Amal Bakti, 2000‎‎‎‎‎‎.

Al-Syafii, Muhammad bin Idris. al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh I Jakarta: Logos, 2000.

Al-Syaukani, bin Muhammad, bin Muhammad bin Ali. Fath al-Qadir Beirut: Dar al-Fikr, 1973.

Al-Tarmasi, Mahfuz, Muhammad. Manhaj Zawi al-Nasr Surabaya : Maktabah Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.

Endnotes

Kalangan ulama ada yang membedakan hadis dari sunnah, terutama karena memang kedua kata itu secara etimologis memang berbeda. Kata hadis lebih banyak mengarah kepada ucapan Nabi; sedang sunnah lebih banyak mengarah kepada tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi dalam beragama. Namun demikian, semua ahlu sunnah sepakat bahwa kedua kata itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Lebih lanjut lihat Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nasr (Surabaya : Maktabah Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974), h.8; Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karaci: Centrall Institut of Islamic Research, 1965), h. 1-4; Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 2000), h. 75.

Baca latar belakang munculnya hadis palsu dalam M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 7.

Lihat M.M. ‘Azami, Studies in Hadith Methodologi and Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), h. 5.

Muhammad Arkoun, Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers, terj. Yudian Asmin dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 73.

Lihat Muhammad Fuad Abul Baqi, al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), h. 314-319, 429-430, 463-464.

Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 916.

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an, juz xviii (Kairo; Dar al-Kitab al-Arabi, 1976), h. 17.

Depag. RI. Op. Cit. h.132.

Ibid. h. 670.

Lihat misalnya Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanutuha fi Tasyri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Qaumiyat li al-Tibaat wa al-Nasyr, 1966), h. 55-59; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (t.tp. Dar al-Fikr all-Arabi, t.th.), 106-107. Khusus tentang pandangan orientalis atas masalah ini dapat dibaca misalnya dari penjelasan Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (Chicago: University of Chocago Pres, 1979), h. 5.

Lihat seperti yang dikutip oleh Fazlur Rahman, ibid

Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9.

Lihat Mustafa al-Sibai, Op. Cit. h. 128-129.

Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 7-68-71. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah bahwa al-Qur’an menjelaskan segaka ketentuan agama, tapi penjelasan itu ada yang berupa al-Qur’an (ayat dengan ayat) dan ada yang berupa hadis Nabi. Hadis Nabi dicakup oleh ayat tersebut sebab salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Lebih jelasnya lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Syaukani, Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 187.

Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.

Lihat M.M. ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), khususnya Bab IV.

M. Syuhudi Ismail, op.cit.h. 119.

Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al-Misriyah, t.th.), h. 21.

Muhammad Abu Zahrah, op.cit. h. 218.

Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jkarta: Media Dakwah, 1980), h. 44-46.

Depag RI, op.cit., h. 64.

Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang pertama mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak menetapkan hal itu sangat dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak kedudukan hadis (sunnah).

Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal Bakti, 2000),h. 71-77.

Ibid. h. 89.

Lihat Muhammad al-Gazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung Mizan, 1996), h. 200.

Diterbitkan
2017-03-28
Bagian
Vol. 14 No. 3 2010
Abstrak viewed = 26850 times