Sufisme dan Kemiskinan Kultural pada Komunitas Nelayan di Pesisir Teluk Bone Kecamatan Sibulue
Abstrak
This article deals with the relationship between ascetism as practiced by the followers of Tarekat Khalawatiyah Yusuf in Bone, one of major Sufi orders (tariqah) in South Sulawesi and their fatalistic and pessimistic attitude towards worldly works and achievements which, in turn, brings them to a situation which is classified in Sociology as “cultural poverty.” From the field research conducted by the author in Kecamatan SibuluE where the doctrines and practices of the Khalawatiyah Yusuf Sufi order are practiced firmly by its followers among fishermen in the area, it is found that a spiritual quest and even spiritual greed leading to various mystical experience has led the fishermen to abandon the importance of hard work and realistic optimism for material gain and possession. This happans because they tend to put themselves into an absolute dependence on the will of God forth eir destiny and subordination of reason and human own action in managing their worldly life. In other words, the followers of the tariqah among the fishermen of SibuluE put themselves into a fatalistic way of life, submissive to predetermined fate, and to denounce a worldly life, an attitude that has in fact led them to a sort of cultural and economic poverty.
Referensi
Anas, Ahmad, Menguak Pengalaman Sufistik. Semarang: Wali Songo Press, 2003.
Darajat, Zakiah, Peranan Agama dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1970.
Fromm, Eric, Memiliki dan Menjadi: Tentang Dua Modus Eksistensi. Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books Inc. Publishers, 1978.
Ghazali al-, Majmu’ah Rasa’il al-Iman al-Ghazali, Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996.
Hagen, E. Everett. On the Theory of Social Change: How Economic Growth Begin. Chicago, Ill.: The Dorsey Press, 1962.
Hamid Abu,. Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1982.
McClelland, David C., The Achieving Society. USA: Van Nostrand, 1964.
Nurbakhsy, Javad, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmad, cet. III; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Soewardi, Herman, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi Baru Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bakti Mandiri, 1999.
Toffler, B.L., Though Choices–Manager Talk Ethics. Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc., 1986.
Tujimah CS. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.
Weber, Max, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Edisi Conterpoint). Sydney: Unwin Paperbacks, 1985.
--------, The Sociology of Religion, Boston: Beacon Press, 1972.
Endnotes
B.L. Toffler, Though Choices–Manager Talk Ethics. (Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc., 1986), h. 72.
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Edisi Conterpoint). (Sydney: Unwin Paperbacks, 1985), h. 67.
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books Inc. Publishers, 1978) h. 3.
E. Everett Hagen. On the Theory of Social Change: How Economic Growth Begin (Chicago, Ill.: The Dorsey Press, 1962) h. 280.
David C. McClelland, The Achieving Society. (USA: Van Nostrand, 1964), h. 166.
Ibid. h. 205.
Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi Baru Timbul Tenggelamnya Sivilisasi (Bandung: Bakti Mandiri, 1999), h. 164.
Kluckhohn dalam Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 31.
Kalimat mystical experience memiliki arti pengalaman gaib (untuk yang berhubungan dengan jumlah/bilangan), pengalaman keajaiban, pengalaman penuh rahasia (untuk coraknya), pengalaman kebatinan, pengalaman mistik (dalam pengertian keagamaan). Maka dalam penelitian ini mystical experience dimaksudkan pula dan terutama pada pengalaman sufisme atau pengalaman tasawuf (Sufism experience). Hal ini dilakukan karena padanan dan istilah yang ada tersedia dalam ungkapan bahasa Inggris dan yang umum dipakai dalam penelitian untuk tasawuf adalah mystic atau Sufism. Padahal sebenarnya mysticism bermakna ilmu tasawuf sekaligus klenik maupun kebatinan. Untuk arti istilah-istilah tersebut lihat John M. Echolos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, cet. XXVII, (1997, hlm. 389). Kata “exprerience” dalam hal ini berarti “mengalami” yakni dengan “merasakan”. Tapi bukan berarti mystical exprerience yang bermakna pengalaman imajinatif atau dongengan. Ungkapan lain yang sepadan dan sering digunakan dalam dunia penelitian-menurut hemat penulis juga lebih tepat adalah spiritual experience yang berarti pengalaman keagamaan.
Abu Hamid,. Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 157–158.
Tujimah CS. Syekh Yusuf Makassar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), h. 71.
Ke 29 judul yang ditemukan Hamid adalah: (1) Al-Nafhatu as-Sailaniyah; (2) Zubdatu al – Asraar; (3) Qurratu al-‘Aini; (4) Syurutu al-‘Arifi al-Muhaqqiq; (5) Tajul al-Asraar; (6) Tuhfatu al-‘Amri Fadhilat Dhikri; (7) Mathaalibu as-Salikiyn; (8) Sirru al-Araar; (9) Tuhfatu al-‘Abraar; (10) Kaifiyatu al-Zikir; (11) Al-Wahsiyat al-Munjiya ‘Anil Mudharrat; (12) Tanbiyhu al–Maasyi; (13) Mir’atu al-Muhaqqiqiyn; (14) Tartybu al-Wariydi; (15) Fathu ar Rahman; (16) Asraaru as – Shalawaat; (17) Barakaatu as – Sailaniyah; (18) Al-Fawaa’ih al-Yusufiah; (19) Muqaddimah al-Fawaaid; (20) Biadayatu al-Mubtady; (21) Daf’u al-Bala’u; (22) Fathu Kaifiyatu al-Zdikri; (23) Kaifiyat al-Munghi wal Itsbaat; (24) Risalat Ghayat al Ikhtishar; (25) Tahshilu al-Inayat wal Hidayah; (26) Hablu al-Waryd; (27) Tuhfatu al-Labiyb; (28) Safinatu an-Najat; dan (29) Tuhfatu ar-Rabbaniyah. Lihat Hamid, op.cit., h. 231.
Abu Hamid, op.cit., h. 159 – 204.
Salah satu jenis kitab al-maulid, atau kitab yang ditulis khusus untuk memuliakan Nabi Muhammad saw, yang biasanya dibacakan pada acara-acara peringatan dan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, tanggal 12 Rabi’ al-awwal, sehingga memang disusun untuk dipersembahkan kepada Nabi Muhammad saw, lebih tepatnya lagi disuguhkan untuk acara-acara perayaan maulid Nabi yang pada saat penulisnya hidup, yakni pada abad ke-15 M mulai marak dilaksanakan oleh masyarakat Islam. Penyusunannya lebih menekankan pada peristiwa beserta pujian-pujiannya atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Dan yang agak mengejutkan lagi, isinya secara umum terpengaruh paham tasawuf-falsafi Ibn al-Arabi atau aliran wujudiyyah, yakni menguraikan tentang deskripsi Nur Muhammad sebagai asal mula segala sesuatu. Fakta ini menunjukkan bahwa penulisnya adalah seorang sufi yang memiliki pemahaman tentang pemikiran tasawuf falsafi. Hal ini terlihat pada, ungkapan tentang diperlihatkannya Nur Muhammad dihadapan penghuni surga, yang mengatasi nur kenabian yang lain. Demikian juga pernyataan penulis yang menyatakan “.sesungguhnya Nur yang terpelihara dan rahasia kejadiannya yang aku ciptakan sebelum wujudnya sesuatu dan sebelum Terciptanya bumi dan langit-langit. Dengan kata lain, Kitab Maulid al-Di’ba adalah merupakan bagian dari karya sastra sufi. Maka, jika kemudian kitab tersebut mampu menempatkan diri sebagai bagian dari ritualistik keagamaan dalam Tarekat Khalawatiyah, bukanlah sesuatu yang aneh.
Sesuatu yang asalnya bukan merupakan ibadah, akan tetapi karena dalam perjalanan sejarahnya dilaksanakan oleh komunitas beragama dan menjadi ritual zikir dan pembacaan Kitab Maulid al-Diba’ dan muncul sebagai ibadah itu, umumnya secara antropologi disebut dengan tradisi keagamaan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pembeda yang dianggap penting bagi dua kelompok keagamaan yang popular, yakni tradisonal dan modern. Namun seiring dengan perkembangan sosiologi masyarakat, sekat-sekat perbedaan itu sekarang telah mulai mengalami peleburan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor kebutuhan spiritual yang sama bagi pemeluk agama, walau secara organisatoris dipisahkan oleh sekat budaya modern dan tradisional.
Bawadih berarti kejutan-kejutan. Istilah ini mengacu pada segala sesuatu yang muncul secara tiba-tiba pada hati dari kegaiban, yang menimbulkan kejutan berupa kesedihan atau kegembiraan Dalam Risalah Qusyairiyah, Sumber Kajian Ilmu Tasauwuf dijelaskan bahwa terjadinya melalui jalan rasa yang menegangkan. Lihat Amstrong, dalam Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik. (Semarang: Wali Songo Press, 2003), h. 102.
Warid adalah limpahan pengetahuan dan ketajaman. Setiap peristiwa yang memasuki hati sang hamba yang berasal dari nama Tuhan disebut Warid Lihat Amstrong dalam Ahmad Anas (ibid. 2003 : hlm 116). Selama zikir berjamaah dan konser spiritual dalam perkumpulan Tarekat Khalawatiyah, zikir dan pendengarannya dapat dibukakan limpahan pengetahuan dan ketajaman. Pengaruh warid bergantung pada kesiapan dan kemampuan untuk menerimanya. Suatu warid dapat menyebabkan kegaiban (qhaybah) atau “kegilaan” (majnun). Para pengikut yang mempunyai daya tampung besar dapat menerima limpahan yang tetap tanpa memperlihatkan perubahan eksternal sama sekali. Andi Pawi Petta Siang (98 Tahun) menjelaskan sebagai yang datang dalam hati berupa bisikan-bisikan yang terpuji, di mana kehadirannya bukan karena di sengaja
Lawami’ adalah kilatan-kilatan cahaya yang masuk ke dalam hati dan menetap sebentar di situ. Sekalipun cahaya itu hilang secara tiba-tiba begitu muncul, ia membawa dan menyimpan di dalam hati suatu pengetahuan yang baru dan segar tentang Allah. Makna eksistensi bisa “disadari” dalam kilatan cahaya semisal ini, dan “kesadaran” seperti ini, pada dirinya sendiri merupakan ketakjuban luar biasa Lihat Amstrong dalam Ahmad Anas ibid. (2003 : hlm 158). Andi Pawi Petta Siang (98 Tahun) menjelaskan sebagai kemilau cahaya, yang didahului oleh law’aih (kilatan sinar) dan diakhir dengan thawali’ (terbitnya cahaya matahari). Hilangnya tidak cepat, dan ketika terjadi lawami’, hamba akan terputus dari dirinya, dan menyatu dengan Tuhannya. Posisinya dalam kondisi diselimuti.
Baraq (jamak bawariq) adalah sesuatu yang mula-mula muncul bagi seorang hamba dari berbagai kilauan cahaya Illahiyah. Dengan serta merta, hamba tersebut terdorong masuk ke dalam kedekatan Tuhan untuk mengadakan perjalanan ke hadirat Allah.
Terdapat sebuah manuskrip yang sangat berharga yang berisi kisah dan penjelasan mengenai peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad saw. Manuskrip ini – seperti keterangan yang diberikan penulisnya – isinya menggabungkan hadist al-Ghoithi, Sarah Barazanji, dan Nazhat al-Majalis, yang dihimpun oleh KH. Shalih bin Umar Darat. Menurut informasi sampul, buku ini ditulis ulang oleh R. Atmo Suwongso diedit bahasanya oleh Karto Subarta. Manuskrip setebal 115 halaman tersebut disatukan dengan kitab Pasholatan orang awam. Semula dimiliki oleh Muhammad Amin Bin Ali, diwariskan kepada H. Mahmud Yahya (keduanya di Singapura) dan kemudian menjadi hak milik almarhum KH. Ambo Dalle Pare-Pare yang selanjutnya ada di tangan Andi Pawi Petta Siang. Manuskrip ini juga ditulis ulang oleh KH. Shalih bin Umar Darat tahun 1315 H. Manuskrip ini salah satu karya KH. Shalih bin Umar Darat yang belum dipublikasikan.
Inti hasil wawancara Ustadz Kadir Kasim (80 Tahun), Ustadz Said (70 Tahun); Ustadz Yahya (70 Tahun); Ustadz Ompo Husain (70 Tahun); Ustadz Rahman Mustafa (78 Tahun); Ustadz Muh. Nasir (57 Tahun) dan Ustadz Daeng Matutu (73 Tahun), kesemuanya memiliki pemahaman yang sama: 1) Soal tentang Zuhud adalah mencintai dunia untuk menjalani ketentuan Allah, 2) Pandangan terhadap kerja dan ibadah adalah kerja menjalani ketentuan Allah, 3) Kerja dan amal saleh, kerja keras adalah amal saleh akan tetapi amal saleh tidak mempengaruhi keberhasilan, 4) Persepsi terhadap kerja dan ikhtiar berusaha atau tidak berusaha sama saja, 5) Persepsi terhadap takdir adalah Rizki telah diatur Allah, usaha atau tidak berusaha sama saja, kaya dan miskin telah ditentukan Allah, kegagalan merupakan ketentuan Allah, 6) Tingkat melakukan usaha hanya sekedarnya dan semua urusan Allah, 7) Motivasi dalam bekerja sekedar menjalani taqdir Allah dan keberhasilan adalah ketentuan Allah.
Abu Hamid, op. cit. h. 174.
Surat-surat yang dimaksud adalah: (1) Q.S. Al-Baqarah ayat 115 : “Kepunyaan Allah Timur dan Barat, kemana pun engkau menghadap di situlah wajah Allah” ; (2) Q.S. Al-Baqarah ayat 186 : “Apabila hamba-hamba bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwa aku adalah dekat”; (3) Q.S. Al-Hadid ayat 3 : “Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu (urusan)”; dan (4) Q.S. At-Thalaaq ayat 12 : “Dan sesungguhnya Allah, Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.
Eric Fromm, Memiliki dan Menjadi: Tentang Dua Modus Eksistensi (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 21-64.
Zakiah Darajat, Peranan Agama dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 48. Dan Aulia, Agama dan Kesehatan Mental/Jiwa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 57.
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Edisi Revisi, (Cetakan V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 152, 160.
Weber, Max. The Sociology of Religion, (Boston: Beacon Press, 1972), h. 263.
Bryan S. Tunner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber. (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 15.
Ini berbeda dengan pengertian “sakit jiwa” orang yang beragama oleh Sigmund Freud. Freud secara umum menyebutkan bahwa setiap gejala keagamaan merupakan gejala sakit jiwa seseorang. Jadi seluruh fenomena keagamaan pada diri seseorang, atau setiap orang yang beragama menunjukkan bahwa orang tersebut mengidap penyakit jiwa. Hal ini juga berakibat pada analisis Freud terhadap agama yang dianggapnya tidak lebih dari sekedar analisis sejarah. “Agama akan menjadi saraf yang mengganggu manusia sedunia” Katanya. Lihat keseluruhan analisisnya dalam bukunya The Future of Illusion, (New York, 1988).
Unsur-unsur kemajuan yang dimaksudkan adalah faktor struktural (modal, teknologi, manajemen, pemasaran, informasi dan sebagainya).
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, hlm. 259-309; al-Ghazali, Majmu’ah Rasa’il al-Iman al-Ghazali, (Beirut: Dar al-Fikr, 1416/1996), h. 152-153.
Ecstasy adalah merupakan kondisi kegembiraan yang luar biasa. Menurut Merkur dalam Ary Ginanjar Agustian, Emotional Spritual Quotient (2005 :45) erat kaitannya dengan gnosis, suatu istilah Yunani yang bermakna “knowledge” (pengetahuan), dan secara teknis didefiniskan sebagai “pengetahuan kegaiban yang bersifat ketuhanan” yang disediakan untuk kalangan atas (orang-orang tertentu). Dalam dunia sufi dikenal suatu jenis pengetahuan yang disebut sebagai al-‘ilm al-ladunniyyah, suatu jenis pengetahuan yang langsung diperoleh dari Tuhan, yang memancar ke dalam rohaninya, di mana pancaran itu bersifat sangat terang dan jelas, terpatrih dalam pikiran dan perasaan yang teranugrahinya. Penulis berpendapat bahwa ilmu ladunni adalah ilmu pemberian Illahi. Inilah ilmu suci yang bukan berasal dari perenungan atau pemikiran, melainkan turun ke hati langsung dari Allah. Pengetahuan semacam ini, identik apa yang disebut Sayyed Hossein Nasr disebut sebagai “Scientia Sacra” (pengetahuan kesucian). Lihat S. Hossein Nasr, Pengetahuan Kesucian, penerjemah Suharsono, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 111. Iman al-Ghazali menyebut kelompok elit tersebut dengan al-khawas al-khawash (yang paling terkhusus, paling tertentu). Pernyataan Merkur bahwa pengalaman keagamaan menyangkut pengetahuan untuk kalangan orang-orang tertentu tersebut sejalan dengan pernyataan Ruzbihan dalam Risalah al-Qudus-nya, sebagaimana dikutip oleh Javad Nurbakhsy, bahwa; “pengetahuan spiritual orang-orang awan adalah pengetahuan spiritual tentang tindakan-tindakan nafs sebelah luar, yang menentang syari’at dan jalan tarekat. Pengetahuan spiritual dari orang-orang yang terpilih adalah pengetahuan spiritual tentang nuansa-nuansa, realitas, dan kebohongan nafs, yang akan membebaskan ruh untuk membumbung tinggi menuju jalan ketuhanan. Pengetahuan spiritual orang-orang yang terpilih adalah pengetahuan spiritual tentang eksistensi nafs, titik masuk dan titik keluarnya, dan pengetahuan bahwa nafs merupakan selubung yang terbentuk dalam wilayah kemurkaan Allah, yang memungkinkan keindahan dari keagungan Allah memperlihatkan dirinya sendiri tetapi tetap menyembunyikan ketaatan terhadap ke Esaan Allah sehingga mereka tidak pernah mengenal Allah melalui semua sifat-sifatnya. Pandangan, yang menerima cahaya kesempurnaan, sehingga ia mampu melihat sumber kemurkaan melalui pandangan keagungan. Guru yang mengetahui keburukan dan kekurangan-kekurangan ini, akan memberikan perisai kepada murid-muridnya untuk menangkal penderitaan dan menganugerahkan pedang keikhlasan kepada muridnya yang sungguh-sungguh”. Dr. Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, penerjemah Arief Rakhmad, (cet. III; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 38.